MATERIAL LUMINESENSI (MATERIAL BERPENDAR)

Peristiwa berpendarnya suatu benda selalu menarik perhatian kita. Kita akan merasa takjub saat mengamati kunang-kunang yang bersinar terang saat malam hari. Kita akan merasa sangat tertarik ketika suatu sticker tiba-tiba berpendar terang disaat gelap. Kita juga akan tertarik saat kita mengamati uang di bawah lampu UV. Semua fenomena tersebut sering kali  membuat kita penasaran untuk mengungkap bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi, jenis material seperti apa yang bisa memunculkan fenomena tersebut serta potensi aplikasinya dikehidupan sehari-hari.

Apakah itu luminesensi?

Secara fisika kita dapat mengartikan peristiwa luminesensi sebagai peristiwa berpendarnya suatu benda (material) setelah menyerap suatu energi. Sumber energi tersebut dapat berupa cahaya, energi kimia, energi listrik, energi panas dll. Apabila sumber energi tersebut berasal dari cahaya maka disebut fotoluminesensi, apabila berasal dari reaksi kimia disebut kemoluminesensi, dari listrik elektroluminesensi dan apabila dari panas disebut termoluminesensi. Peristiwa luminesensi yang terjadi pada makhluk hidup seperti pada kunang-kung, umumnya termasuk kedalam kemoluminesensi, akan tetapi peristiwa ini sering disebut juga bioluminesensi. Berpendarnya suatu benda dapat kita nyatakan sebagai peristiwa radiasi elektromagnetik yang menghasilkan foton (cahaya). Foton yang dihasilkan pada peristiwa luminesensi adalah foton pada daerah energi tampak (visible region, cahaya tampak).

Gambar 1. Contoh peristiwa (a) bioluminesensi, (b) termoluminesensi (pada fluorite), (c) elektroluminesensi, (d) fotoluminesensi (pada C-Dots)

Apakah perbedaannya dengan radiasi benda hitam?

Kita telah mengenal fenomena radiasi benda hitam dengan baik pada materi fisika modern. Benda yang memiliki panas pada kasus ideal benda hitam, pada temperatur tertentu akan menghasilkan emisi foton. Temperatur untuk menghasilkan panas pada benda hitam sangatlah tinggi. Besi misalnya, akan menampakkan warna merah pada orde 1000 K (775 °C), lampu pijar menyala kekuningan pada suhu 3000 K ( 2775 °C), Matahari kita berwarna kuning yang mana memiliki temperatur pada orde 5000 K pada permukaannya.

Peristiwa luminesensi dan radiasi benda hitam sama-sama menghasilkan foton yang diemisikan. Hanya saja pada peristiwa luminesensi tidak terjadi pada suhu tinggi yang berarti diperlukan energi yang rendah untuk memunculkan fenomena ini. Biasanya peristiwa ini kita sebut sebagai cold radiation atau radiasi dingin karena terjadi pada suhu yang rendah atau bahkan tidak memerlukan energi panas. Misalnya termoluminesensi fluorite hanya pada kisaran temperatur 200 °C, elektroluminesensi LED hanya diperlukan 5V saja, sementara pada C-Dots hanya diperlukan lampu UV (15 W) untuk melihat fenomena tersebut. Kita juga tentunya tidak akan pernah melihat kunang-kunang yang kepanasan saat berpijar di malam hari.


Apa itu material luminesensi dan mengapa peristiwa luminesensi dapat terjadi?

Peristiwa luminesensi dapat kita amati pada material luminesensi. Material luminesensi (berpendar) biasanya juga disebut sebagai material fosfor karena fenomena ini pertama kali diamati pada fosfor. Banyak sekali material luminesensi yang telah ditemukan dan hingga saat ini terus dikembangkan. Contohnya adalah GaAsP, ZnS, CdTe, ion-ion logam jarang tanah seperti Yb3+, Ce3+, Gd 3+ dll. Bahkan kita dapat mengamati fenomena ini pada karbon yang memiliki ukuran nanopartikel seperti Graphe Quantum Dots dan Carbon Nanodots, serta polimer organik seperti protein. Saat ini fenomena luminesensi pada material tersebut menjadi kajian yang menarik perhatian bagi para ilmuan untuk menyelidiki mekanismenya.

Pemahaman fisika kuantum akan sangat membantu dalam memahami peristiwa luminesensi pada suatu benda. Melalui pendakatan tersebut kita dapat memahami peristiwa luminesensi dapat terjadi apabila adanya transisi elektron dari level yang rendah biasanya kita sebut level dasar (ground state) menuju level tereksitasi yang kemudian elektron kembali lagi menuju level dasar dengan memancarkan energi foton pada daerah tampak.

Elektron di dalam suatu material jumlahnya sangatlah banyak. Elektron tersebut dapat menduduki level energi tertentu di dalam material. Pada setiap level energinya dapat diisi elektron dengan jumlah yang sangat banyak, sehingga akan membentuk daerah dengan level energi yang sama. Daerah tersebut dinamakan pita energi (band energy).
Gambar 2. Diagram pita energi dan transisi elektron pada material luminesensi (sumber: dokumen penulis)

Pada material luminesensi terutama yang berupa kristalin terdapat dua buah pita energi, yaitu pita valensi dan pita konduksi. Pita valensi menunjukkan daerah berenergi rendah sementara pita konduksi adalah daerah berenergi tinggi. Diantara kedua pita tersebut terdapat celah energi. Celah energi (gap energy) inilah yang akan menunjjukkan karakteristik warna yang dihasilkan saat peristiwa luminesensi. Ilustrasinya dapat kita lihat pada Gambar 2. Oleh karena material ini memiliki celah energi, material luminesensi juga tergolong dalam material semikonduktor.

Melalui Gambar 2, secara sederhana kita juga dapat memahami transisi elektron yang mengakibatkan munculnya fenomena luminesesensi. Saat sejumlah energi E mengenai suatu material luminesensi, elektron di dalam material ini akan berpindah dari pita valensi menuju pita konduksi biasanya disebut dengan eksitasi yang ditunjukkan pada keadaan A. Elekron pada pita valensi akan kembali menuju keadaan dasar biasanya disebut dengan rekombinasi dengan memancarkan energi foton hf seperti pada keadaan C.

Pada keadaan tereksitasi elektron akan mengalami banyak peristiwa. Apabila elektron naik menuju level energi yang lebih tinggi akibat menyerap energi lagi maka energi emisinya memungkinkan menjadi lebih besar. Sebaliknya apabila elektron pada keadaan ini digunakan untuk getaran kristal energi emisinya akan lebih rendah yang disebut dengan relaksasi (keadaan B, Gambar 2; Gambar 3.(a)). Jika getaran kristal sangat besar maka emisi foton tidak dapat terjadi. Apabila energi yang diemisikan oleh material luminesensi lebih besar, maka kita menyebutnya material up-conventer, sedangkan apabila energinya lebih rendah material tersebut kita namai material down-conventer (Gambar 3.(b)). Elektron juga bisa langsung kembali keadaan dasar, namun cukup sulit untuk menemukan material yang menunjukkan fenomena seperti ini.
Gambar 3. Mekanisme luminesensi untuk material (a) down-conventer; (b) up-conventer; gambar sisipan (a) CS-ZnS:Mn2+ yang dieksitasi pada panjang gelombang 290 nm (Chang et al, 2011), (b) Luminesensi pandu gelombang dengan bahan aktif Eu3+ yang dieksitasi menggunakan laser 980 nm (Zhou et al, 2015)

Penjelasan yang telah dikemukakan diatas dapat menjelaskan fenomena luminesensi pada material semikonduktor logam-logam transisi. Sumbangsi keadaan pita-pita energi berada pada orbital d. Namun sekarang ini muncul fotoluminesensi dari material non logam seperti pada graphene quantum dots (GQDs), maupun karbon nanodots (C-Dots). Penjelasan fenomena fluminesensi pada material ini cukup rumit karena melibatkan orbital s dan p. Adapun fenomena bioluminesensi dapat dijelaskan secara kimia dan tidak menjadi fokus pembasahan.

Pada material GQDs dan C-Dots para peneliti saat ini sepakat untuk memodelkan adanya level-level energi pada elektron ikatatan pada orbital s dan p. Keadaan tereksitasi pada orbital ini dikenal dengan konjugasi orbitalnya. Kita akan mengenal orbital ikatan Ïƒ dan σ*, serta orbital ikatan Ï€ dan Ï€*. Untuk jumlah elektron yang sangat banyak pada level dasar kita akan mengenal HOMO sedangkan pada level tereksitasi kita akan mengenal LUMO.
Gambar 4. Diagram energi dan mekanisme luminesensi pada GQDs dan C-Dots
HOMO (highest occupied molecular orbital) merupakan orbital yang terisi penuh oleh elektron sedangkan LUMO (lowest unoccupied molecular orbital) merupakan orbital yang tidak banyak terisi elektron. Elektron dari level HOMO dapat pindah menuju LUMO yang mana dapat kita sebut sebagai transisi elektron. Pada umumnya transisi elektron pada material ini terjadi pada orbital ikatan Ï€. Perbedaan kedua level energi tersebut disebut sebagai HOMO-LUMO gap yang identik pada energi gap dalam semikonduktor logam. Selanjutnya penjelasan mengenai mekanisme fotoluminesensi pada material ini akan mirip dengan material semikonduktor logam dan ditunjukkan pada Gambar 4.

Apa saja potensi aplikasi material luminesensi?

Aplikasi material luminesensi di seluruh bidang kehidupan sangatlah luas. Pada bidang kesehatan material luminesensi digunakan sebagai agen bioimaging untuk mendeteksi penyakit. Pada bidang elektronika material luminesensi memiliki peranan penting sebagai bahan aktif pada peralatan optoelektronika. Peralatan optoelektronika misalnya adalah LED dan sensor. Pada bidang industri bahan baku material luminesensi dapat digunakan sebagai katalis reaksi. Bidang kesenian dapat digunakan pada cat berpendar. Material luminesensi juga sangat banyak digunakan pada tinta pengaman pada uang. Bahkan di bidang lingkungan kita dapat menggunakannya sebagai pendegrasi limbah melalui proses fotokatalis.

Gambar 5. Aplikasi material luminesensi pada (a) OLED (GQDs), (b) Sensor (Eu), (c) bioimaging (C-Dots), (d) tinta pengaman (CdSe)

Kita akan banyak menemukan aplikasi C-Dots maupun GQDs pada aplikasi bioimaging, material dengan bahan aktif Eu3+ pada sensor, GaAsP dan ZnS pada LED, serta CdSe pada tinta pengaman. Masing-masing material punya kelebihan masing-masing dalam aplikasinya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan satu material memiliki banyak kegunaan. C-Dots misalnya, material ini juga dapat diaplikasikan pada OLED, sensor, fotokatalis, sel surya serta tinta pengaman.

Referensi:

Chang, S-Q., B. Kang, Y-D. Dai, H-X. Zhang & D. Chen, 2011, One-step fabrication of biocompatible chitosancoated ZnS and ZnS:Mn2+ quantum dots via γ-radiation route, Nanoscale research letters, 6: 1-7

Li, H., Z. Kang, Y. Liu, & S-T. Lee, 2012, Carbon Nanodots: synthesis, properties and applications, Journal of Material and Chemistry, 22: 24230-24253

Pan. D., J. Zhang, Z. Li, & M. Wu, 2010, Hydrothermal Route for Cutting Graphene Sheet into blue luminescent graphene quantum dots, Adv. Mater, 22: 734-738

Shinde, K. N.,S. J. Dhoble, H. C. Swart & K. Park, 2012,  Basic mechanisms of photoluminescence. In Phosphate Phosphors for Solid-State Lighting (pp. 41-59). Springer Berlin Heidelberg

Zhou, B., B. Shi, D. Jin, & X. Liu, 2010, Controlling upconversion nanocrystals for emerging applications, Nature nanotechnology, 10: 924-936

0 Response to "MATERIAL LUMINESENSI (MATERIAL BERPENDAR)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel